Selasa, 07 April 2009

Ta'awwun : Hubungan Dokter Pasien

Ta’awwun : Hubungan Dokter-Pasien
Oleh : dr. H. Nurul Kawakib, SpB*

Hubungan dokter-pasien, menurut Bahar Azwar -dokter spesialis bedah konsultan bedah onkologi-, ibarat kapas dalam air. Tidak ada yang mengetahui apakah air dalam kapas atau kapas dalam air. Demikian kentalnya senyawa ini sehingga bahagia dan kesedihanpun dirasakan bersama.
Hubungan air dan kapas tidak selalu berjalan dengan baik. Laksana hujan di hari panas, silang sengketa muncul pada waktu yang tidak terduga. Apakah pada waktu tanya jawab (anamnesis), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, rujukan, sebelum pembedahan, sesudah pembedahan, waktu mau membayar dan sebagainya.
Silang sengketa adalah awal dari penuntutan. Hal ini umumnya disebabkan oleh kebutuhan akan uang, kecewa dan marah, komunikasi jelek antara dokter dan pasien, hasutan pihak ketiga seperti keluarga atau kenalan, upaya menutupi keadaan karena malu menderita sesuatu penyakit, keinginan membalas dendam atau melindungi pihak lain dan perangai dokter yang acuh akan musibah pasien.Bila diamati semua penyebab itu berasal dari kebutaan tentang hak dan kewajiban saling tolong menolong (ta’awwun) hubungan dokter-pasien dalam transaksi pengobatan (transaksi terapeutik).
Transaksi Terapeutik
Dokter bekerja pada suatu proses transaksi terapeutik dengan pasien. Agar hasilnya baik, oleh dokter yang bekerja dengan baik, maka syaratnya pasien pun harus berlaku sebagai pasien yang baik.Hasil akhir transaksi terapeutik menjadi tanggung jawab bersama setelah dokter-pasien berperan aktif secara sebaik-baiknya.
Menurut Daldiyono dalam bukunya Bagaimana Dokter Berpikir dan Bekerja, aspek penting dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien ditinjau dari hak dan kewajiban, terdapat tiga aspek, yaitu aspek budaya, aspek etik dan aspek hukum. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisah-pisahkan.
Contoh dalam aspek budaya adalah sikap dasar masing-masing pihak apakah suatu hubungan amal-percaya atau hubungan provider-konsumen (jual jasa), sikap paternalistik atau otonomi atau keseimbangan antara keduanya.
Filosofi dasar budaya transaksi terapeutik adalah amal-percaya disertai penghormatan otonomi pasien. Berkaitan dengan otonomi pasien tersebut antara lain meliputi Hak Asasi Manusia (HAM), kebutuhan dasar manusia, berpartisipasinya dalam proses transaksi terapeutik, kewajiban ikut mengambil keputusan medik, kewajiban mengambil keputusan sendiri, kewajiban mengikuti ketentuan sistem dan prosedur yang berkaitan dengan proses transaksi terapeutik serta kewajiban membayar biaya dan honorarium.
Aspek hukum yang dimaksud dalam transaksi terapeutik antara lain pasal yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata yang terkait, Undang-Undang kesehatan, ketentuan-ketentuan dalam asuransi, Undang-Undang perlindungan konsumen dan sebagainya.
Aspek etika bagi dokter berprinsip dasar altruisme atau primum non nocera yaitu tidak merugikan orang lain dan dari segi pasien adalah asas resiprokal yaitu imbalan yang wajar.
Hak dan Kewajiban
Hak pasien adalah berobat. Kewajibannya adalah bertanya, berterima kasih, patuh dan beritikad baik. Kewajiban dokter adalah melakukan upaya pengobatan dan tidak mengingkari amanah pasien. Haknya adalah menerima rasa terima kasih pasien. Hanya ada satu kiat untuk tidak mengingkari amanah pasien. Kiat itu adalah menghormati hak pasien. Menghormati hak pasien berarti melakukan upaya yang sebaik-baiknya bertujuan untuk mencapai tepat pengobatannya, cara pelayanannya, hemat biayanya dan selamat dunia akhirat Upaya tersebut hanya bisa dicapai bila upaya dokter memenuhi unsur tidak mencelakakan, efektif dan efisien serta tidak melanggar Kode etik atau hukum.
Hak pasien diatur dalam UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen. Dalam aturan itu disebutkan mengenai hak pasien yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, memilih, informasi, didengar, mendapatkan advokasi dan upaya perlindungan, pelayanan yang tidak diskrimatif, mendapatkan ganti rugi dan hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Kesemuanya itu bermuara pada HAM yaitu hak atas pelayanan kesehatan dan hak otonomi atas diri pasien.
Hak atas pelayanan kesehatan diperoleh sejak masih dalam kandungan. Hak ini adalah bagian dari hak dasar manusia yang dikenal sebagai hak asasi manusia. Walaupun hak dasar sudah dikumandangkan oleh berbagai agama sejak dunia terkembang, kepustakaan mencatat nama John Locke tahun 1690 sebagai penemunya. Baru pada tahun1960 hak ini diakui secara resmi di Indonesia. Undang-undang Kesehatan no. 9 tahun 1960 pasal 1 menyebutkan : ”Tiap-tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan dalam usaha-usaha kesehatan pemerintah.” Ketentuan ini diperbarui dalam Undang-undang Kesehatan no. 23 tahun 1992 pasal 4 yang menyebutkan : ”Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Sama halnya dengan pasien, dokter adalah warga negara. Sebagai warga negara dokter tidak boleh melanggar hukum. Dokter tidak boleh melanggar hak atas pelayanan kesehatan. Hak atas pelayanan kesehatan inilah yang mendasari adanya hubungan dokter-pasien.
Hak atas pelayanan kesehatan menimbulkan kewajiban hukum melayani dari dokter. Kewajiban ini tidaklah mutlak. Artinya dokter tidak wajib memberikan pertolongan kepada orang yang menolak pertolongan itu. Hak ini dikenal dengan hak otonomi atas diri pasien. Hak ini juga disebut dengan hak menentukan nasib sendiri.
Dari pihak pasien hak otonomi ini tidaklah mutlak, karena dibatasi oleh aturan hukum. Misalnya usaha mengakhiri hidup atau euthanasia merupakan tindakan melanggar hukum. Disebutkan di QS. 4 : 29, ”Wa laa taqtuluu anfusakum innallaaha kaana bikum rahiimaa (dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu).” Juga disebutkan dalam Undang-undang no.39 tahun 1999 yang membatasi hak asasi manusia dalam pasal 1 ayat 1, ”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi perlindungan harkat dan martabat manusia.” Itulah alasan dasar mengapa euthanasia merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia.
Dari pihak dokter hak otonomi atas diri pasien membatasi kewenangan dokter dalam pengobatan. Batasan ini adalah keinginan, pilihan dan persetujuan pasien. Dokter tidak bisa melakukan tindakan bedah atau operasi tanpa persetujuan pasien.Bahkan seandainya pasien menolak untuk diobati, dokter harus mengabulkan keinginan pasien.Yang perlu pasien ketahui adalah akibat keinginannya. Apabila pasien menyetujui suatu tindakan medis, dokter mendapat perlindungan hukum atas tindakan itu. Misalnya pasien menyetujui tindakan operasi, dokter yang melakukan operasi itu mendapat perlindungan hukum. Artinya dokter itu tidak bisa dituntut karena melukai pasien dengan sayatan sesuai dengan teknik operasi penyakitnya. Namun perlindungan ini tidaklah mutlak. Apabila dokter itu melakukan operasi tidak sesuai dengan standar prosedur operasi atau dengan ceroboh tetap saja bisa dituntut.
Timbulnya silang sengketa hubungan dokter-pasien dapat ditelaah hubungannya dengan hak dan kewajiban dengan memilah masalah dokter dan masalah pasien. Masalah dokter adalah apakah dokter mendapat amanah (adakah amanah yang dititipkan, yang diharapkan, yang dipercayakan, yang disanggupi) dan apakah dokter melakukan perbuatan yang mengingkari hukum (adakah pelanggaran hak asasi pasien atau merusak hak subyektif dengan melanggar hak pasien dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, seperti mencelakakan, tidak efektif dan tidak efisien, tidak sesuai dengan standar, dan melanggar Kode etik). Masalah pasien adalah apakah pasien mengingkari kewajibannya (bertanya, berterima kasih, patuh dan beritikad baik). Selanjutnya dapat disimpulkan apakah dokter amanah atau ingkar, apakah pasien telah melaksanakan kewajiban bertanya, berterimakasih, patuh dan beritikad baik.
Akhinya, ta’awwun atau tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (”Wa ta’aawanuu ’alal birri wattaqwaa wa laa ta’aawanuu ’alal itsmi wal ’udwaani wat taqullaaha innallaaha syadiidul ’iqaab.”(QS.5:2).Wallahua’lam bishshawab.

*Penulis adalah Dokter Spesialis Bedah (Konsultan) di RSI Nashrul Ummah Lamongan dan staf pengajar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut