BAHAYA PENGUNAAN NARKOTIKA
Oleh : dr. H. Nurul Kawakib, SpB*
Tanggal 26 juni Hari Antinarkoba Internasional dan Nasional diperingati. Presiden dalam pidatonya di Hari Antinarkoba Nasional ini telah menyatakan perang terhadap narkoba di Indonesia karena bahayanya.
Di Indonesia tercatat pengguna narkoba mencapai 3,2 juta orang atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut ada kecenderungan terus bertambah, bahkan penggunanya sampai ke usia SD dan SMP. Awal tahun 1990 yang lalu, mass media ibukota telah memuat berita bahwa di kota-kota besar para siswa SD dan SMP telah dimasuki kasus penggunaan narkotika.
Dilihat dari faktor usia, pada umumnya kebanyakan yang terjebak ke penyalagunaan narkotika adalah pada usia akhir masa remaja atau awal usia dua puluhan. Adanya predisposisi itu faktor utamanya karena narkotika dijadikan sebagai peralihan terhadap problema-problema yang dihadapi.
Sebagaimana diketahui, pada sekitar usia tersebut adalah merupakan usia dimana anak mengalami masa goncangan atau masa transisi yakni masa peralihan, baik faktor biologis yang ditandai dengan organ-organ mengalami tumbuh kembang drastis atau “catch up” maupun faktor psikologis yakni proses menuju kematangan diri. Bila pada masa ini anak tidak atau kurang mendapat perhatian, orangtua kurang mengerti keadaan anak, guru hanya sekedar “tranfer” pelajaran, lingkungan tidak mendukungnya, dalam proses menuju kestabilan anak, maka anak dapat mengalami kegoncangan dan ia akan melampiaskan ke hal-hal yang dapat memuaskan dirinya, diantaranya ke narkotika.
Dengan menggunakan narkotika (ganja, morphin, heroin atau sejenisnya) pada dirinya akan timbul rasa senang yang berlebihan (euphoria), seolah semua problema telah teratasi dan tidak ada lagi. Akhirnya terus menerus itu dilakukannya. Pelaku tidak mau tahu apa yang dijadikan pelampiasan itu halal atau haram, melanggar aturan hukum atau tidak, yang penting baginya adalah kepuasan dan kesenangan. Pelaku tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan itu hanyalah kesenangan semu belaka yang dapat berakibat fatal nerusakkan dirinya dan masa depannya, merusakkan harapan harapan keluarganya, bahkan merusakkan bangsa.
Adanya akibat fatal itu karena terdapatnya sifat kecanduan (addiction) bagi yang menggunakannya. Pertamakali menggunakannya pada diri pelaku akan timbul rasa nyaman (sense of well being) dan rasa senang berlebihan (euphoria), sehingga secara psikis pelaku ingin terus untuk mendapatkan dan menggunakannya (psychis crawing). Semakin lama semakin timbul kebiasaan untuk selalu mendapatkannya sampai timbul ketergantungan psikis (psychis dependence).
Selanjutnya akan timbul intoleransi yaitu untuk mendapatkan rasa nikmat yang sama dosis harus dinaikkan. Lama-kelamaan fisik menginginkan terus (physical crawing). Kalau tidak mendapatkan atau menggunakan narkotika badan terasa tidak enak, akhirnya akan sampai terjadi ketergantungan fisik (physical dependence) dimana narkotika seolah merupakan kebutuhan vital yang mutlak harus dipenuhi. Bila kebutuhan itu tidak dipenuhi atau dihentikan maka akan timbul keadaan gelisah, sukar tidur (insomnia), acuh atau apati, kadang terjadi diare, keringat banyak, demam, menguap dan kumpulan gejala-gejala lain yang dikenal dengan “With Drawal Syndrome”.
Karena keadaan tersebut, pelaku akan mengalami gangguan fungsi sosial, misalnya sering berkelahi, sering tidak masuk sekolah atau bahkan keluar dari sekolahnya.Selain itu, yang lebih bahaya lagi, pelaku mengalami kesulitan dalam segi hukum akibat sifat kecanduan yang ditimbulkannya. Terjadi resiko yang besar untuk melakukan tindakan kriminal akibat usaha untuk mendapatkan uang yang akan dipakai membeli narkotika.
Akibat resiko bahaya yang ditimbulkannya itulah maka beralasan kiranya bila kita mendengar vonis hukuman mati dijatuhkan bagi mereka pengguna, pembeli atau penjual narkotika.
Pemerintah terhadap obat-obat jenis narkotika (obat daftar O) memberikan perhatian secara khusus. Dalam hal pengadaan, hanya Kimia Farma saja yang boleh mengimpor dengan pengawasan pemerintah. Sedangkan pendistribusian diawasi secara ketat. Dokter yang menulis resep obat jenis narkotika menulisnya secara khusus baik cara nulis jumlahnya, tidak boleh dengan parap tapi harus dengan tanda tangan dokter. Pembelian mutlak harus dengan resep dokter, bahkan obat tertentu pembeli harus bawa Kartu Tanda Penduduk.Apotik tidak boleh melayani copy resep, dan resep sendiri tidak boleh diulang meskipun pada resep ditulis oleh dokter tanda iter (pengulangan obat).
Para ahli agama (ahli fiqih) melarang dengan keras narkotika, karena dapat mengaburkan akal atau menghilangkan fikiran, seperti halnya minuman keras (khamr). Tentang penggunaannya sebagai obat, madzab Syafi’i (tersebut dalam Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj) mengizinkan dengan tegas mempergunakannya, yakni apabila tidak ada obat lain yang sama dengan obat jenis narkotika dan sama pula khasiatnya untuk penggantinya. Ada yang memberi pembatasan tambahan bahwa hanya boleh dipakai atas aturan dokter yang berkompeten.
Akhirnya, karena bahayanya, tidak hanya duta antinarkoba dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bertugas menyosialisasikan bahaya narkoba kepada orang-orang di sekitar lingkungan kerja dan tempat tinggal, tapi semuanya, apalagi yang berkompeten, harus mengkomunikasikan “say no to drugs” untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Wallahua’lam.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran UMM dan Dokter Ahli Konsultan RSI NU Lamongan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar