Selasa, 07 April 2009

Aspek Terapeutik Dibalik Salat

Aspek Terapeutik Di Balik Shalat
Oleh : Dr H Nurul Kawakib SpB*
Dari sejarah Islam diketahui, bahwa pada tahun kesebelas dari kenabian, ketika Nabi Muhammad SAW mengalami kesedihan yang begitu mendalam akibat ditinggal dua orang yang sangat dicintainya, yaitu Abu Thalib pamannya yang selama ini selalu membela beliau dari gangguan orang-orang kafir dan Khadijah selaku isteri yang selalu membantu perjuangan beliau, maka Nabi SAW diperjalankan pada suatu malam yang penuh keberkahan oleh Allah SWT dengan jalan Isra’ Mi’raj, sebagaimana tersebut dalam QS.17:1 “Subhaanal ladzii asraa bi ‘abdihi lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqshal ladzii baaraknaa haulahuu li nuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwas sami’ul bashiir (Maha suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat).”
Isra’ merupakan perjalanan beliau di waktu malam dari Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsha Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah kenaikan beliau dari Masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha. Di malam Isra’ Mi’raj itu, Nabi SAW mendapatkan ‘oleh-oleh’ berupa perintah untuk menjalankan shalat lima waktu. Allah SWT menetapkan kewajiban shalat lima waktu sehari semalam. Dan paginya waktu tergelincir matahari malaikat Jibril AS datang kepada Nabi SAW menerangkan cara shalat dan waktu-waktunya. Nabi SAW shalat dengan Jibril AS pada hari itu sampai hari besoknya, dimana kaum muslim shalat makmum Nabi SAW dan Nabi SAW mengikuti Jibril AS, seperti tersebut dalam hadits Ibnu Abbas dan Jabir.
‘Oleh-oleh’ yang dibawa Nabi SAW berupa shalat, dapat diibaratkan sebuah ‘obat’ yang beliau peroleh dari Allah SWT. Hal ini seperti ketika seseorang sedang sakit, kemudian dibawa ke dokter oleh pembantunya, setelah diperiksa oleh dokter diperbolehkan untuk pulang dan kemudian diberi resep (obat) yang perlu diminum setelah sampai di rumah.
Gambaran seperti inilah yang bisa diambil, ketika Nabi SAW sedang mengalami (sakit) kegundahan yang amat sangat, maka beliau dibawa oleh Jibril AS untuk “bekunjung’ kepada ‘dokter ahli’ yaitu Allah SWT. Agar ‘sakit’ yang dialami oleh Nabi SAW itu benar-benar sembuh dan terhindar dari penyakit-penyakit tersebut, maka beliau diberi ‘obat’ yang berbentuk shalat, yang harus ‘diminum’ sesuai dosis yaitu lima kali dalam sehari, bonus dengan shalat-shalat sunah yang lain yang tentunya juga sesuai ‘takaran’ yang juga sudah ada ketentuannya. Karena wajar bila dalam Islam juga melarang orang menjalankan shalat terus menerus karena dianggap melanggar ‘takaran’ dari Allah SWT.
Tidaklah Allah SWT menjadikan sesuatu itu sia-sia belaka. Termasuk terhadap kewajiban shalat atau lainnya yang tersebut dalam AlQuran dan Hadits.. Di balik kewajiban shalat atau lainnya dalam proses perujukan pada AlQuran dan Hadits serta berpegang teguh pada aturan-aturan dan petunjukNya, terdapat akibat yang mendatangkan kebahagiaan dunia akhirat, dan juga kenikmatan serta rahasia medis berupa kesehatan atau aspek pengobatan (terapeutik) bagi manusia.
Aspek terapeutik di balik shalat antara lain yaitu aspek gerak, aspek konsentrasi (khusyu’) dan aspek ucapan lafadh-lafadh (doa). Para dokter telah menyatakan bahwa gerakan-gerakan shalat yang dilakukan dengan teratur dan terus menerus, akan membuat persendian lentur, tidak kaku, tulang menjadi kokoh, tulang punggung tidak bengkok. Juga dapat melancarkan peredaran darah yang dapat mencegah kekakuan dan penyumbatan pembuluh darah. Ini akan menghindarkan adanya gangguan peredaran darah ke jantung, yang sering mengakibatkan kematian.
Konsentrasi otot dan tertekan pada otot-otot tertentu dalam shalat adalah merupakan proses relaksasi. Relaxation Training adalah salah satu teknik yang banyak dipakai untuk menyembuhkan gangguan jiwa. Para ahli menyebutkan bahwa gerakan-gerakan otot pada relaksasi itu dapat mengurangi kecemasan. Begitu juga shalat yang penuh gerakan fisik dapat menghasilkan bio-energi yang dapat membawa subyek dalam situasi equilibrium antara jiwa dan badan. Dengan demikian dapat dikaitkan bahwa shalat yang penuh dengan gerakan fisik tersebut dapat juga menghilangkan kecemasan. Dalam suatu penelitian disimpulkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin teratur seseorang itu melakukan shalat maka makin rendah tingkat kecemasannya.
Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa gerakan dalam shalat menurut agama Islam adalah suatu cara untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Pada waktu sikap berdiri tegak, seluruh saraf menjadi satu titik pusat pada otak. Jantung bekerja secara normal, paru-paru, pinggang, tulang punggung lurus dan seluruh organ tubuh dalam keadaan normal. Pada waktu berdiri kedua kaki tegak berdiri, sehingga telapak kaki pada posisi akupuntur yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia.
Dari segi neurologi ketika menjalankan gerakan dari berdiri-ruku’-sujud dan duduk akan menimbulkan beberapa perubahan baik fisiologis maupun distribusi cairan darah. Perubahan fisiologis terutama adalah perubahan posisi jantung. Posisi jantung di bawah kepala ketika berdiri dan duduk kemudian berubah sejajar dengan kepala ketika ruku’ dan jantung berposisi sedikit lebih tinggi dari kepala ketika sujud. Sedangkan perubahan distribusi cairan tubuh, sebagian cairan tubuh akan mengalir ke tungkai bagian tubuh yang belum teraliri saat duduk atau berbaring.
Kedua perubahan tersebut akan merangsang refleks kardiovaskuler dalam bentuk yang dikenal sebagai ‘sympaticoadrenal discharge’ yaitu terjadinya peningkatan aktivitas serat adrenergic, yang dapat menstimuli medulla adrenalis dan ujung saraf untuk melepas hormone adrenalin dan noradrenalin. Kemudian kedua hormone itu mengaktifkan reseptor alfa dan beta. Teraktifkannya reseptor alfa akan menimbulkan vasokonstriksi, sehingga cairan darah yang menggumpal di bagian tungkai atau tubuh akan mendorong ke bagian yang belum teraliri sehingga venus return menjadi normal.
Sementara pengaktifan reseptor beta akan merangsang sel ‘glomerolus’ ginjal dimana enzim ini akan merangsang pembentukan ‘angiotensin’ dan dari bahan ini akan menimbulkan vasokonstriksi juga. Disamping itu aktifnya reseptor beta juga akan meningkatkan irama jantung sehingga ‘cardiac output’ meningkat. Dengan meningkatnya ‘cardiac output’ jumlah darah yang mengalir ke otak, terutama ketika sujud, menjadi normal kembali.
Dalam menjalankan shalat seseorang dituntut untuk melakukan secara khusyu’ (berkonsentrasi). Kekhusu’an shalat mengandung unsur meditasi. Meditasi, menurut para ahli, cukup efektif untuk mengurangi gangguan mental dan berbagai efek mental. Suatu penelitian tentang trancedental meditation menyimpulkan bahwa meditasi mengurangi kecemasan. Apabila dikaitkan dengan shalat yang harus dilakukan dengan khusyu’ oleh setiap orang yang menjalankannya, maka shalat dapat mengurangi kecemasan.
Dalam riwayat disebutkan, Sayidina Ali Karamallahu Wajh pernah tertusuk anak panah, ketika menjalankan shalat di salah satu medan perang. Kemudian dicabut di saat shalat. Ketika itu Sayidina Ali Karamallahu Wajh mengatakan tidak merasakan sakit diwaktu anak panah itu dicabut oleh temannya, saat beliau dengan khusyu’ menjalankan shalatnya. Hasil penemuan ilmiah di bidang fisiologi, yang disebut “Gate System Theory”, membenarkan peristiwa tersebut. Menurut teori tersebut, rangsangan rasa sakit dapat dihambat datangnya ke otak melalui proses perangsangan lain, yang di dalam kasus Sayidina Ali Karamallahu Wajh adalah kekhusyu’an dalam shalat.
Dalam shalat disamping memerlukan aktivitas fisik dan harus dijalankan dengan khusyu’, shalat juga berisikan doa-doa yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. Mulai dari takbiratul ihram sampai salam, seseorang yang melaksanakan shalat senantiasa mengucapkan puji-pujian atas kebesaran Allah SWT dan memohon ampun kepada- Nya serta meminta keselamatan dengan segala kebaikan kepada-Nya.
Dari segi hipnotis, yang menjadi landasan dasar terapi sakit jiwa, ucapan sebagaimana tersebut merupakan “auto sugesti” yang dapat mendorong kepada orang yang mengucapkan untuk berbuat sebagaimana yang dikatakan. Bila doa itu diucapkan dan dipanjatkan dengan sungguh-sungguh, maka pengaruhnya sangat jelas bagi perubahan jiwa dan badan. Dan menurut para ahli doa merupakan teknik penyembuhan gangguan mental, dapat dilakukan dalam berbagai kondisi yang terbukti membantu efektifitasnya dalam mengubah mental seseorang.
Dengan shalat dapat menyebabkan ingat Allah SWT. ”Aqimish shalaata li dzikrii (dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku)(QS.20:14). Dan dengan mengingat Allah SWT, seseorang menjadi tenang dan tenteram (Alaa bi dzikrillaahi tathma-innul quluub (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram)(QS.13:28).
Akhirnya, terungkapnya aspek terapeutik di balik shalat, membuktian akan kebenaran firman Allah SWT dalam QS.45:15 bahwa Allah SWT mewajibkan shalat dan amal saleh lainnya, bukan untuk kepentingan Allah SWT, melainkan demi untuk kebutuhan dan perbaikan diri manusia itu sendiri. Wallahua’lamu bishawab.

* Penulis adalah Dokter Ahli Bedah (Konsultan) RSI Nashrul Ummah Lamongan dan Dosen Fakultas Kedokteran UMM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut