Selasa, 07 April 2009

Program Husnul Khotimah di Rumah Sakit

Program ”Husnul Khotimah” di RS
Oleh : dr. H. Nurul Kawakib, SpB*

Rumah Sakit (RS) merupakan salah satu tempat dimana seseorang yang sakit dan dirawat meninggal dunia. Setiap orang pada dasarnya menginginkan meninggal dunia secara baik (husnul khotimah) dan itu perlu diupayakan, tidak hanya oleh orang yang bersangkutan pada waktu menjalani hidup, tapi juga disaat akan meninggal dunia, diupayakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, baik keluarga maupun tenaga kesehatan yang terlibat.
Ada kenyataan bahwa dalam menghadapi pasien-pasien yang naza’ (roh akan dicabut) pertanda akan meninggal dunia di RS, pendekatan yang dilakukan hanya ditujukan pada fisik (biologis) pasien semata dan melupakan upaya santunan spiritual menuju husnul khotimah, karena itu perlu program husnul khotimah sebagai pendampingan spiritual di akhir kehidupan pasien di RS.

Pendampingan Spiritual di Akhir Kehidupan
RS pada pokok pelaksanaannya disamping ditujukan pada pelayanan, perawatan dan pengobatan (medik dan bedah), agar pendekatan pada pasien menyeluruh (holistik) sebagaimana pendekatan yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health of Organisation), maka pokok pelaksanaannya ditujukan juga pada pelayanan dan santunan spiritual. Kedua pokok pelayanan tersebut harus dikerjakan secara terpadu agar dapat diperoleh hasil yang cukup baik yaitu menolong pasien seutuhnya.
Santunan spiritual RS bertujuan menyadarkan pasien agar memahami dan menerima cobaan yang dideritanya dengan ikhlas, ikut serta memecahkan dan meringankan problem kejiwaan yang sedang dideritanya, memberikan pengertian dan bimbingan pasien dalam kewajiban keagamaan yang harus dikerjakan dalam batas kemampuannya, pengobatan dengan berpedoman tuntunan agama dan menjalankan program husnul khotimah sebagai pendampingan spiritual pada akhir kehidupan pasien.
Pendampingan spiritual di akhir kehidupan akan dapat mencapai tujuan dengan mengetahui kebutuhan dan perubahan perilaku seseorang menjelang akhir kehidupan. Kebutuhan menjelang akhir kehidupan, menurut Twycross dalam bukunya Attentions to details, antara lain kebutuhan fisik yaitu bebas gejala, kebutuhan psikologis yaitu rasa aman, pemahaman tentang penyakit yang dideritanya, dihargai dan dilibatkan dalam membuat keputusan, kebutuhan sosiobudaya yaitu diterima, dilibatkan dan bebas dari ikatan-ikatan serta kebutuhan spiritual yaitu diampuni, dicintai, harga diri dan hidup yang berarti.
Sedangkan perubahan perilaku menjelang akhir kehidupan disebabkan antara lain perubahan biologik, tahap kematian, reaksi emosional seputar penyakit dan tindakan medis, reaksi terhadap perilaku lingkungan serta tugas yang belum selesai. Perubahan biologik bisa terjadi karena perubahan di pusat (otak), penyakit itu sendiri atau sistemik akibat efek pengobatan. Tahap kematian, menurut EK Ross dalam buku Comprehensive textbook of psychiatry antara lain tahap menolak dengan perilaku tidak mau tahu, tahap amarah dengan perilaku agresif, destruktif dan sering terjadi disintegrasi spiritual, tahap tawar menawar dengan perilaku sangat labil, tahap depresi dengan perilaku pasif menarik diri bahkan penelantaran diri serta tahap pasrah dengan perilaku yang positif dibanding dengan tahap sebelumnya. Reaksi emosional sangat variatif dan sebagian besar tergantung pada apa yang dipersepsikan, kepribadian dan dukungan lingkungan pasien. Lingkungan yangh dimaksud adalah orang-orang yang terlibat baik anggota keluarga, tenaga kesehatan atau lainnya. Tugas yang belum selesei adalah cita-citanya yang dianggapnya belum terlaksana tapi maut sudah menjelang, acapkali seseorang bersikukuh ingin melaksanakan cita-citanya, apalagi rencana dan strategi sudah disiapkan secara rinci serta dipersiapkan pula untuk masa depan anak dan cucu. Keinginan mempertahankan tugas dunia di satu pihak dan kesadaran akan mendekatnya kematian, menyebabkan seseorang sering berubah perilakunya bahkan sampai detik-detik menjelang ajalnya.
Kebutuhan menjelang akhir kehidupan harus digali (assessment) dan pada tahap mana pasien berada dilihat. Diperlukan pendampingan spiritual yang intensif agar pasien cepat mencapai tahap pasrah. Bila kebutuhan spiritual tersebut sudah diyakini dan realistis maka beberapa alternatif solusi ditawarkan kepada pasien dan atau keluarga, dengan tujuan kepada keutuhan diri pasien yang meliputu aspek keutuhan sebagai ciptaan Tuhan, keutuhan sebagai pribadi atau individu dan keutuhan sebagai makhluk sosial. Tahap demi tahap program husnul khotimah sesuai dengan kebutuhan pasien ditawarkan pada pasien dan keluarga bila pasien masih sadar atau pada kelurga untuk dilaksanakan pada pasien bila pasien sudah tidak sadar lagi (menjelang sakaratul maut) sehingga dapat menuju mati dengan husnul khotimah.

Kesaksian Spiritual Seorang Dokter
Khalid bin Abdul Aziz Al-Jubair, dokter spesialis bedah jantung, dalam bukunya Musyahadat Thabib Qashash Waqi’iyah telah mengungkapkan kesaksian spiritual dan pendampingan spiritual menuju husnul khotimah pasien-pasien yang meninggal dunia di RS, disamping kasus-kasus spiritual lainnya, baik yang didengar maupun dilihat secara langsung, selama bertugas di RS.
Terdapat tidak kurang dari 43 kasus spiritual yang diungkapkannya, 19 kasus spiritual meninggal dunia, 1 kasus spiritual pasien akan dioperasi melarikan diri karena takut mati dan 23 kasus spiritual pasien sembuh dengan pendekatan kompetensi dokter dengan berbagai spiritualitasnya. Dari 19 kasus meninggal dunia, 14 kasus meninggal dengan husnul khotimah (dengan tanda-tanda husnul khotimah), 3 kasus meninggal dengan tidak islami atau su’ul khotimah (dengan tanda-tanda su’ul khotimah) dan 2 kasus meninggal secara tidak terduga, di usia muda tanpa didahului adanya tanda-tanda akan meninggal, yang dapat sebagai instropeksi diri akan datangnya kematian yang dapat terjadi setiap waktu.
Tanda-tanda husnul khotimah antara lain mampu mengucapkan kalimat syahadat ketika naza’ dan meninggal ketika sedang mengerjakan amal saleh, sebagaimana disebutkan Muammal Hamidy dalam bukunya 16 Tanda-tanda Husnul Khotimah dan itu terjadi pada 14 kasus yang meninggal.
Spiritualitas yang diungkapkan pada kasus yang meninggal dunia dengan Husnul Khotimah berdasar spiritual pasien di saat hidupnya antara lain sejak akil baliq selalu membangunkan kedua orangtuanya untuk menunaikan shalat subuh, tekun shalat malam, tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali halangan syar’i, selalu mengikuti shalat wajib berjama’ah di masjid, tidak pernah tertarik dengan harta milik orang lain, tidak pernah dengki atau iri, selalu kasih sayang terhadap siapapun, tidak pernah berbuat ghibah (membicarakan atau mengungkit-ungkit kejelekan orang lain), membaca Qur’an, ahli Qur’an, seluruh ucapannya adalah Qur’an dan dzikir, mengkhatamkan Qur’an, selalu menyeru kebaikan mencegah kemungkaran dengan lemah lembut dengan cinta kasih, menjaga lisan, tidak pernah menggunjing, tidak pernah bohong, tidak pernah menipu, tidak pernah berkata kotor, tidak pernah berbuat keji dan mungkar.
Pendampingan spiritual yang dilakukan antara lain pada pemuda terkena tembakan peluru nyasar yang ingin kehadiran ayah dan ibunya di ssinya, dan setelah kedua orangtuanya disisinya pemuda itu menyampaikan selamat tinggal kepada keduanya untuk selamanya, lalu melantunkan syahadat. Kasus lain pada pasien dengan kanker otak, pasien dengan kanker kandung kencing dan pasien lanjut usia yang baru menjalani operasi jantung serta beberapa kasus terminal lainnya, dokter yang merawat minta dihubungi kapanpun bila pasien menghadapi sakaratul maut, dan ketika sakaratul maut dokternya datang mengatakan kepada pasien ”Ucapkanlah ’Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”, sebagaimana bunyi HR. Ahmad dan Abu Dawud. Pasien mengucapkannya lalu pergi menghadap Tuhannya, mati dengan husnul khotimah.
Akhirnya, khalid mengingatkan bahwa selama ini orang lebih mengedepankan persoalan fisiknya, baik kebutuhan fisik, penyakit fisik, pengobatan fisik dan bahkan kematian fisik. Kematian fisik yang ditangisi, akan tetapi mereka tidak menangisi hati (spiritual) yang mati, padahal matinya hati lebih menyedihkan daripada matinya fisik (jasad). Jika kehidupan seseorang yang terbebas dari penyakit fisik mengantarkannya untuk menikmati hidup yang aman dari segala penyakit di dunia, maka sesungguhnya kesehatan spiritual akan mengantarkan seseorang menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan kebahagiaan tidak terbatas di akhirat. Wallahu a’lam.

* Penulis adalah Dokter Spesialis Bedah RSI Nashrul Ummah Lamongan dan staf pengajar Fakultas Kedokteran UMM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut