Selasa, 07 April 2009

Persepsi Salah Terhadap Obat (Radar Bojonegoro)

PERSEPSI SALAH TERHADAP OBAT
Oleh : Dr. H. Nurul Kawakib, SpB*
Obat-obatan, baik berupa pil, kapsul, injeksi atau sejenisnya, bahkan operasi, merupakan perantara sembuh dari penyakit dan bukan penyebab utama sembuh, karena penyembuhnya adalah Allah SWT, sebagaimana Nabi Ibrahim AS telah berkata yang tersebut dalam QS.26:80, “Wa idzaa maridhtu fa huwa yasyfiin (dan apabila aku sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkanku).”
Kenyataan dijumpai adanya persepsi salah terhadap obat. Obat yang sebenarnya sebagai perantara sembuhnya suatu penyakit dianggap segala-galanya yakni sebagai penyembuh utama. Bisa jadi, pasien dengan patah tulang secara “evidence base” sembuh berfungsi seperti semula dengan obat operasi, tapi bila Allah SWT menetapkan lain diluar prediksi ahlinya misalnya berakhir dengan amputasi maka terjadilah, karena tidaklah Allah SWT memberikan ilmu kepada manusia meskipun ahlinya kecuali hanya sedikit, sebagaimana tersebut dalam QS.17:85, “Wa maa uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilaa (dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit).”
Kenyataan semacam ini telah disinyalir oleh Al-Ghazali beberapa abad yang lampau. Ia tidak hanya mensinyalir pada para pasien yang salah persepsi terhadap obat, tapi juga mengecam pada para dokter yang dengan congkak mengaku sebagai penyembuh.
Dalam sebuah suratnya yang ditujukan pada seorang penguasa di zamannya, ia telah mengatakan bahwa kerusakan-kerusakan badan manusia yang merupakan struktur yang paling njlimet dan rumit di dunia dan sarana yang tepat untuk memperbaikinya adalah merupakan kajian yang paling sulit dan rumit, sehingga karena itu membuka banyak kemungkinan bagi kekeliruan-kekeliruan penyelidikan dan penarikan kesimpulan. Oleh karena itu banyak teori-teori salah dan penyembuhan-penyembuhan yang mengerikan. Begitu banyak dan begitu besar kesalahan dan kejahatan yang timbul akibat penyelidikan dan penalaran yang salah.
Al-Ghazali amat khawatir terhadap keadaan tersebut sehingga pada akhirnya ia mengingatkan tentang dokter, obat dan pasien. Dokter-dokter yang menganggap dirinya sebagai penyembuh dan mencoba menyembuhkan penyakit-penyakit, yang seolah-olah mendasarkan penyembuhannya pada sebab-sebab alami, dikecamnya sebagai orang jahil yang tidak tahu apa-apa tentang pengobatan. Dan yang benar adalah bahwa Yang Satu yang menciptakan penyakit-penyakit itu sajalah satu-satunya yang tahu bagaimana menyembuhkannya.
Terhadap pasien-pasien yang percaya bahwa obat mutlak harus dibeli pada seorang apoteker sesuai dengan resep dokter kemudian dipakai sebagaimana disuruh dan menganggap obat itu sebagai penyembuh, dikatagorikannya sebagai kesalahan besar dan dikecamnya sebagai orang-orang yang bodoh. Ia mengemukakan bahwa sesungguhnya lewat belas kasihan dan hidayah Allah SWT sajalah seorang pasien bisa memilih dokter yang paling cocok bagi penyembuhannya, juga lewat Allahlah dokter menentukan penyembuhan yang terbaik. Karena, bila seorang dokter mengabaikan faktor-faktor yang penting ini, dia tidak akan memberikan manfaat apa-apa kepada pasiennya.
Pada saat ini kebanyakan pasien merasa tertipu bila diperiksa dokter tidak mendapat resep atau apalagi kalau tidak disuntik. ”Apa gunanya omongan dokter itu ? Bukankah ia harus memberi obat, paling tidak suntik ?” Nasehat saja tidak penting dan mungkin dianggap tidak perlu. Banyak pasien setia menelan obat, tetapi tidak mengikuti nasehat yang diberikan dokter. Ada kasus seorang pasien yang sembuh dari sakit kepala dan sulit tidur lantaran ia mengikuti nasehat dokter, tetapi biar demikian ia marah sekali. “Saya tidak mau ke dokter itu lagi. Ia tidak memeriksa saya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak memberi saya obat, apa saya cuma dinasehati saja.”
Adanya persepsi salah tersebut menyebabkan pada saat sekarang ini banyak obat yang beredar di pasaran dan pasien minum. Data WHO (World Health of Organisation) menyebutkan bahwa di dunia terdapat lima ratus macam penyakit dan tiga puluh persen dapat disembuhkan dengan perantaraan obat. Ini berarti hanya memerlukan maksimal seratus lima puluh sampai tiga ratus jenis obat. Yang tujuh puluh persen penyakit yang lain harus disembuhkan dengan perantaraan cara yang berlainan. Tetapi kenyataannya di dunia terdapat lebih dari dua ratus ribu jenis obat.
Dengan adanya persepsi tersebut yang didukung oleh tingginya jumlah obat yang ada di dunia adalah merupakan suatu bukti bahwa masyarakat telah terpukau dengan obat-obatan berupa pil atau sejenisnya. Kadang dijumpai ada seolah seseorang tidak bisa hidup tanpa menelan pil. Mau makan harus dengan pil nafsu makan, mau tidur harus dengan pil tidur, mau bugar harus dengan pil bugar, mau tenang harus dengan pil penenang, mau ujian harus dengan pil kuat belajar. Dan macam-macam lagi yang kesemuanya dapat membuat seseorang lebih percaya dengan kekuatan pil-pil yang sebenarnya hanya sebagai perantara, daripada percaya kepada yang sebenar-benarnya pembuat hebat dan ampuh pil itu yakni Allah SWT.
Mereka lupa bahwa pil atau sejenisnya itu hanyalah perantara dalam penyembuhan penyakit, sama seperti seorang dokter yang juga sebagai perantara semata dalam usaha penyembuhan penyakit, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, “Nabi Ibrahim AS bertanya kepada Tuhan : Dari siapakah obat itu Ya Tuhanku ? Allah SWT berfirman : Dari Aku. Nabi Ibrahim AS bertanya : Dari siapakah obat ini? Allah SWT berfirman : Dari Aku. Lalu bagaimana kedudukan dokter ? tanya Nabi Ibrahim AS. Allah SWT berfirman : dia seorang (perantara) yang diberi obat pada ke dua tangannya.
Mengapa persepsi salah itu terjadi ? Karena pasien atau dokter (muslim) dalam prakteknya tidak menjadikan Qur’an dan Hadis sebagai tuntunan (khususnya tentang pengobatan) serta Nabi SAW sebagai contoh tauladan (khususnya tentang Aththibbun Nabawi). Sesungguhnya satu saja contoh dari Nabi SAW bila dokter atau pasien mengaplikasikannya dan meresapinya dalam usaha pengobatan suatu penyakit maka insya Allah tidak akan terjadi persepsi salah terhadap obat.
Sebagai contoh, Nabi SAW memerintahkan agar dalam melaksanakan suatu perbuatan dimulai dulu dengan bacaan “Basmallah” (“Bismillahirrahmanirrahim “ yang artinya Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”), agar tidak putus barokahNya (HR. Abu Daud). Seandainya satu sabda Nabi SAW ini saja diterapkan dalam setiap memulai pengobatan dan diresapi bahwa pengobatan yang akan dilakukan atas nama Allah SWT dengan harapan semoga dibarokahi (semakin baik) oleh Allah SWT, maka insya Allah tidak akan terjadi persepsi yang salah terhadap obat, baik oleh pasien maupun dokter. Wallahua’lam bishshawab.

* Penulis adalah Dokter Spesialis Bedah (Konsultan) di RSI Nashrul Ummah Lamongan dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut