Terapi Hati dengan Berhaji
Oleh : Dr. H. Nurul Kawakib, SpB*
Haji adalah ibadah yang termasuk kelompok syari’ah qodimah, yaitu ibadah yang bukan saja dimulai pada masa Nabi Muhammad SAW, tapi sudah dimulai pada masa sebelumnya, sekitar 4000 tahun sebelum Nabi SAW diangkat menjadi rasul, yaitu pada masa Nabi Ibrahim AS.
Pelaksanaan haji sesungguhnya merupakan apa – apa yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim AS. Jadi haji yang diwajibkan pada Nabi SAW dan pada umatnya yang mampu ,sesungguhnya merupakan rekaman sejarah yang lalu, yang ternyata dalam rekaman peristiwa itu menjadi sebuah ritual, menjadi rukun Islam, yang mempunyai makna yang begitu luas dan hikmah yang begitu dalam.
Ali Syariati dalam bukunya yang berjudul Haji mengatakan bahwa haji merupakan pertunjukan simbolis filsafat penciptaan Nabi Adam AS, pertunjukan penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam dan pertunjukan Ummah. Pertunjukan berlangsung dalam kondisi Allah SWT adalah manager panggungnya. Tema yang disorot adalah tindakan orang - orang yang terlibat di dalamnya. Adam, Ibrahim, Hajar dan Iblis adalah tokoh utamanya. Latarnya adalah tanah suci, Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah dan Mina. Simbol - simbol pentingnya adalah Ka’bah, Safa, Marwah, siang, malam, fajar, senja, berhala - berhala dan ritual pengurbanan. Busana dan dandanannya adalah ihram. Pemain peran dalam pertunjukan ini hanya seorang yaitu seseorang yang berhaji.
Berhaji berarti menjadi pemain utama dalam pertunjukan itu dan mesti bertanya apa makna haji itu. Ali Syariati mengatakan bahwa makna haji intinya adalah evolusi (tumbuh atau berkembang secara sedikit demi sedikit dan perlahan - lahan) menuju Allah SWT. Haji adalah terapi (pengobatan), tepatnya terapi hati. Ketika berhaji hati dicuci bersih. Hati didekatkan kepada sesuatu yang agung dan mulia. Hati diisi dengan hal - hal yang sama sekali baru dari sisi material dan non material.
Kiatnya adalah mengulangi kembali pengalaman mereka secara betul – betul menghayati usaha mereka dalam mengabdi kepada Allah SWT. Dimulai ihram di miqat, tawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, mabit atau bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah di Mina dan tahallul atau bercukur di akhirnya.
Berhenti di miqat, menanggalkan semua pakaian berjahit yang terlarang, lalu mandi menjelang ihram. Berhenti di miqat, hati meneguhkan niat untuk juga berhenti menanggalkan semua pakaian maksiat dan sebagai gantinya mengenakan pakaian kepatuhan dan ketaatan. Menanggalkan semua pakaian terlarang, hati menanggalkan diri dari semua sifat riya’(pamer, mengerjakan suatu amalan agar memperoleh pujian orang), nifaq (kemunafikan) dan segala yang diliputi syubhat (segala sesuatu yang meragukan). Mandi dan membersihkan diri sebelum memulai ihram, hati berniat membersihkan diri dari segala pelanggaran dan dosa.
Kemudian ke Mekah dengan pesonanya. Pesona Mekah adalah pesona Nabi SAW, sang kekasih Allah SWT. Di Mekah-lah tempat - tempat yang menjadi simbol ibadah haji itu berada. Di Mekah pulalah Masjidil Haram, yang dijadikan pusat kegiatan jamaah haji sehari - hari tegak berdiri Ka’bah, kiblat kaum muslim di seluruh dunia ketika menjalankan ibadah salat, berada di lingkungan Masjidil Haram.
Tatkala melihat Ka’bah, mengangkat tangan dan mengucapkan takbir “Allahu Akbar” dan tahlil “La ilaha illallah”, lalu membaca doa “Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, kehormatan, keagungan dan kehebatan Baitullah ini. Dan tambahkanlah pula pada orang – orang yang memuliakan, menghormati dan mengagungkannya diantara mereka yang berhaji atau yang berumrah, padanya kemuliaan, kehormatan, kebesaran dan kebaikan.” Di depan Ka’bah, hati terkesan bahwa tangan seorang pembangun demikian dekatnya dengan konsepsi agamanya. Dalam kesederhanaan kubus itu, menyangkal segala keindahan garis dan bentuk, berkatalah hati ini betapapun indahnya segala apa yang mampu dibuat oleh tangan - tangan manusia adalah congkak bila dibandingkan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, semakin sederhana yang dapat disombongkan manusia merupakan hal terbaik yang dibuatnya untuk menyatakan kebesaran itu. Menuju Ka’bah melakukan tawaf, hati tunduk menuju ketaatan kepada-Nya, berpegang teguh pada kecintaan terhadap-Nya, setia menunaikan segala perintah-Nya dan mendekatkan diri selalu kepada-Nya. Bertawaf mengelilingi Ka’bah sebagai indikasi hati akan selalu berada di dekat Allah SWT dan selalu siap melaksanakan tugas dari-Nya.
Setelah tawaf dilanjutkan dengan sa’i atau berlari – lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah, untuk menapaktilasi jejak Ibu Hajar RA, yang dengan penuh semangat berusaha mencari air untuk putranya yaitu Ismail AS. Ketika sa’i tuju kali antara Safa dan Marwah, mesti dijalani dengan semangat tinggi dan pantang menyerah. Ini adalah ajaran kesabaran agar tabah menghadapi segala rintangan ketika sedang menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Hati tabah karena meyakini bahwa Allah SWT akan memberi solusi atas segala masalah dalam kehidupan.
Mabit atau berhenti bermalam di Mina, melempar jumrah, tahallul atau mencukur rambut dan memotong hewan (membayar dam sebagai tebusan atau hewan kurban). Di mina melempar jumrah, meneguhkan hati bahwa dengan melempar jumrah berarti melempar iblis musuh bebuyutan, memeranginya habis – habisan. Dengan mencukur habis rambut, mencukur habis pula dari hati segala kenistaan dan telah keluar serta menjauh dari segala perbuatan dosa, sehingga suci bersih seperti ketika baru lahir dari perut ibu. Dan pada saat memotong hewan, hati juga berniat memotong segala urat ketamaan dan kerakusan, dan sebagai gantinya berpegang pada sifar wara’ (bersikap sangat hati - hati dalam mencari keuntungan, jangan sampai terjerumus ke dalam dosa). Hati mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS yang rela sepenuhnya memotong leher Nabi Ismail AS, putra kecintaannya, buah hatinya dan penyegar jiwanya, agar menjadi teladan bagi seluruh manusia sesudahnya, semata – mata demi memenuhi perintah Allah SWT.
Tahallul atau memotong rambut sebagai bukti syukur kepada Allah SWT . Ibarat akhir dari semua perjuangan, dengan tahallul seseorang bisa kembali menikmati sesuatu yang sebelumnya dilarang, menikmati manfaat di balik haji dan mabrur yaitu menjadi lebih baik, lebih beriman dan lebih memaknai terhadap yang dilakukan pada waktu berhaji. Wallahua’lam.
* Penulis adalah Dokter Ahli Bedah, Jamaah Haji 1429 H/2008 M. Alumnus Pondok Pesantren Yanabiul Ulum Sidoresmo dan Roudlotul Qur’an Lamongan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar