Sabtu, 21 Maret 2009

Pendekaan Holistik Terapi (Radar Bojonegoro-Jawa Pos Group)

Pendekatan Holistik Terapi

Oleh : Dr. H. Nurul Kawakib, SpB*

Beberapa pekan terakhir ini, Radar Bojonegoro memberitakan dan membuka dompet radar peduli kasus Roni, 10 tahun, yang opname di bagian bedah Rumah Sakit Lamongan, dengan kanker di wajah (fibroangioma) dan kasus Mustofa, 8 tahun, dengan lahir tidak punya anus (atresia ani), yang telah operasi dengan dibuatkan anus sementara lewat perut (colostomy).

Menghadapi dua kasus tersebut atau kasus penyakit lainnya, dari segi medis pendekatan terapi (pengobatan) yang dilakukan harus holistik yaitu pendekatan terapi secara menyeluruh. Tidak hanya fisik (biologis) semata, tapi juga psikososiospiritualnya, sebagaimana yang dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health of Organization) sejak tahun 1984 yang dikenal dengan pendekatan biopsikososiospiritual.

Pendekatan tersebut penting karena menentukan bagaimana dokter berpikir dalam melakukan terapi terhadap kasus-kasus penyakit pasien yang dihadapi. Apabila menguraikan langkah bagaimana pola berpikir dokter, maka yang paling mudah adalah mulai dari identifikasi tujuan berpikir. Tujuan pertama dokter berpikir (dalam kapasitas dokter terhadap pasien) adalah bagaimana (ikhtiar) menyembuhkan pasien. Yang menjadi soal adalah apakah dokter selalu dapat (sebagai perantara) menyembuhkan pasien. Jawaban yang pasti adalah tidak selalu, buktinya banyak pasien meninggal di rumah sakit atau banyak pasien yang penyakitnya tidak sembuh.

Selain itu, kebutuhan pasien berobat, yang penting menurut persepsi pasien agar mereka dapat terbebas dari rasa sakit atau terbebas dari penderitaannya. Jadi selain (sebagai perantara) menyembuhkan pasien, ada tujuan lain yaitu (sebagai perantara) mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.

Selain kedua tujuan tersebut, ada amanat bahwa seorang dokter berkewajiban untuk menjaga hidup pasien. Tujuan ini sekaligus juga merupakan fungsi dokter terhadap pasiennya. Dalam perumusan tradisional, sering dikatakan fungsi dokter adalah memperpanjang umur (prolonging life). Perumusan memperpanjang umur tersebut secara religius tidak tepat, lebih baik disebut menjaga kehidupan atau untuk mempertahankan dan menjaga kualitas hidup.

Selanjutnya bila pasien tidak mungkin ditolong atau tidak dapat disembuhkan atau pasien dalam situasi terakhir suatu penyakit (terminal stage), maka tujuan lainnya adalah mempersiapkan atau menghantarkan pasien menghadap Allah SWT (meninggal dunia) dengan baik (husnul khatimah).

Jadi tujuan berpikir dokter terhadap pasien agar pendekatan terapi bisa holistik adalah pertama pasien sembuh, kedua pasien hilang rasa sakitnya (penderitaannya), ketiga pasien terjaga kesehatannya (terjaga kualitas hidupnya) dan keempat menghantarkan pasien meninggal dunia dengan husnul khatimah. Untuk mencapai keempat tujuan tersebut, proses berpikir berlangsung beriringan, tidak masing-masing tujuan memiliki proses berpikir sendiri-sendiri.

Terhadap kasus atresia ani, lahir tidak punya anus sehingga tidak bisa buang air besar, kemudian dibuatkan anus sementara lewat perut (colostomy) agar bisa buang air besar, tujuan terapi jelas yaitu pasien sembuh, karena memang penyakitnya bisa disembuhkan secara medis, dengan terapi definitif operasi tahap dua yaitu dibuatkan anus (postero sagital anorectoplasty/PSARP), setelah anus bisa difungsikan selanjutnya operasi tahap tiga yaitu menutup lubang anus di perut (tutup colostomy).

Masalahnya adalah sampai dengan usia 8 tahun belum dilakukan terapi definitif operasi tahap dua yang seharusnya menurut ilmu bedah sudah bisa dilakukan pada usia 12 bulan dan operasi tahap tiga yang biasanya dilakukan tiga bulan setelah operasi tahap dua. Akibatnya pada pasien tidak hanya penyakit fisik yang diderita, tapi dapat mengganggu psikologis (risiko tinggi stres, minder), sosial (risiko tinggi terjadi gangguan hubungan sosial, masalah biaya) dan spiritual (kesulitan bersuci, salat). Jadi pendekatannya tidak hanya fisik , tapi juga psikososiospiritualnya.

Kenapa belum dilakukan terapi definitif, penyebabnya antara lain karena faktor pasien atau keluarga dan faktor tenaga kesehatan. Faktor pasien atau keluarga antara lain tidak mau dioperasi lagi, bisa karena takut atau ada masalah biaya. Sedangkan faktor tenaga kesehatan, sampai saat ini sedikit sekali dokter ahli bedah yang kompeten melakukan operasi PSARP, sehingga pasien harus dirujuk ke dokter ahli bedah anak yang kompeten dan biasanya ada di Rumah Sakit tipe A yang ada di daerah tingkat I/propinsi.

Persoalannya adalah apabila pasien atau keluarga tidak mau dioperasi lagi dan menerima apa adanya yaitu buang air besar lewat perut seterusnya, karena operasi tahap dua dan tiga tidak dilakukan. Pengalaman penulis saat sebagai chief residen ilmu bedah dan stase di Rumah Sakit Jember, mendapat kasus pasien bayi baru lahir dengan atresia ani, operasi yang dilakukan di RSUD Jember tidak tiga tahap tapi langsung terapi definitif satu tahap (PSARP). Alasannya karena berdasar kasus-kasus sebelumnya yaitu apabila pasien dilakukan operasi colostomy (tahap pertama) maka hampir semua pasien tidak mau lagi dioperasi tahap selanjutnya, sehingga bila ada bayi atresia ani langsung dilakukan terapi definitif operasi PSARP oleh dokter ahli bedah di RSUD Jember.

Terhadap kasus kanker, dari segi medis bila belum metastase (menjalar) dan penyebabnya bisa dihilangkan maka tujuan terapi adalah pasien sembuh. Atau sudah metastase tapi metastase dan penyebabnya bisa dihilangkan maka tujuan terapi adalah pasien sembuh. Tapi apabila belum metastase dan tumor penyebabnya tidak bisa dihilangkan atau sudah metastase dan metastase atau penyebabnya tidak bisa dihilangkan yang berarti pasien tidak bisa sembuh secara medis dan penyakitnya terus berjalan, maka tujuan terapi adalah mengurangi penderitaannya (keluhannya dihilangkan), menjaga kualitas hidupnya (kebutuhan hidup dipenuhi) dan mempersiapkan meninggal dunia dengan husnl khatimah.

Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang liar, tidak terkendali dan menimbulkan benjolan atau tumor yang ganas. Penyebab pasti tidak diketahui dan multifaktorial. Didapatkan adanya abnormalitas gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kasusnya karena kelainan kongenital sekitar 5 %, karsinogen sekitar 80 % dan lingkungan sekitar 15 %.

Kelainan kongenital hubungannya dengan menentukan kemampuan menetralisir karsinogen yang masuk tumbuh, mereparasi kerusakan gen, menjaga kekebalan tubuh dan mematikan sel kanker yang baru tumbuh. Karsinogen antara lain kimiawi, sinar ion, virus, iritasi kronis, hormon dan obat-obatan. Lingkungan hubungannya dengan pekerjaan, tempat tinggal dan gaya hidup. Faktor lain antara lain faktor herediter (keturunan), geografis, kebiasaan dan sosioekonomi.

Pendekatan medis terapi penyebab kanker antara lain dengan modalitas terapi operasi (bila operable dan resectable), radioterapi (bila radiosensitif), kemoterapi (nila sensitif) dan bioterapi atau imunoterapi (belum bisa dilakukan di Indonesia). Tujuannya bisa kuratif (penyembuhan) atau paliatif (mengurangi keluhan, memperbaiki kualitas hidup) karena tidak bisa disembuhkan lagi secara medis.

Pendekatan psikososial diharapkan pasien tidak mengalami gangguan psikis dan sosial. Pendekatan ini penting karena pada pasien dengan kanker sangat berisiko tinggi terjadi problema psikososial, terutama sejak diagnosis kanker ditegakkan, selama terapi, setelah terapi, selama follow up, sampai dengan pasien sembuh atau meninggal dunia. Keluarga harus dilibatkan untuk mengurangi penderitaan pasien. Begitu pula orang-orang yang ada di sekitar pasien diharapkan membantu mengurangi penderitaan pasien.

Pendekatan spiritual bagi pasien sangat penting, karena jangan sampai pasien fisik (biologis) nya sudah sakit, spiritualnya ikut sakit. Apalagi pada pasien yang penyakitnya secara medis tidak bisa disembuhkan. Dengan pendekatan spiritual diharapkan pasien menjalankan syariat-Nya (nilai-nilai Ilahi). Idealnya tingkatan spiritualnya semakin baik yaitu setelah syariat menuju tarikat (meninggalkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Ilahi, konsentrasi berbuat baik, wara’, zuhud, sabar, tawakal,ridha), hakekat (kehadiran Tuhan dalam diri) lalu makrifat (berpaling dari semua yang bukan Tuhan).

Pendekatan spiritual yang berhubungan dengan penyakit dan terapi antara lain dengan mengetahui bahwa sakit cobaan Allah SWT (QS.57:22), Allah SWT penyembuhnya (QS.26:80), legalitas terapi medis (HR. Tirmidzi) dan legalitas terapi bedah (HR. Muslim). Kemudian bersikap sabar (QS.22:155), berprasangka baik (Hadis Qudsi), ikhlas karena Allah SWT (QS.6:162), ikhtiar dan tawakal (QS.3:159), doa (QS.40:60), ridha (QS.92:21) serta dzikrullah atau ingat Allah SWT (QS.13:28). Dengan begitu pasien menjadi tenang (QS.13:28), motivasi positif meningkat (QS.2:286). Akhirnya bila hidup diharapkan islam kaffah (QS.2:208) atau bila meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah (QS.3:102, HR. Ahmad dan Abu Dawud). Wallahua’lam.

* Penulis adalah Dokter Ahli Bedah RSI NU Lamongan dan Mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

Pengikut